Minggu, 06 Januari 2019


PENYUSUNAN ANGGARAN PERUSAHAAN DALAM BIDANG PEMBANGUNAN

Prinsip-Prinsip Penganggaran
Adapun yang dimaksud dengan prinsip-prinsip anggaran adalah: (Dedi Nordiawan, Iswahyudi Sondi Putra dan Maufidah Rahmawati tahun 2007). 
a. Transparansi dan akuntabilitas anggaran 
Anggaran harus dapat menyajikan informasi yang jelas mengenai tujuan, sasaran, hasil, dan manfaat yang diperoleh masyarakat dari suatu kegiatan atau proyek yang dianggarkan. 

Anggota masyarakat memiliki hak dan akses yang sama untuk mengetahui proses anggaran karena menyangkut aspirasi dan kepentingan masyarakat, terutama pemenuhan kebutuhan-kebutuhan hidup masyarakat. Masyarakat juga berhak untuk menuntut pertanggungjawaban atas rencana ataupun pelaksanaan anggaran tersebut. 

b. Disiplin Anggaran 
Pendapatan yang direncanakan merupakan perkiraan yang terukur secara rasional yang dapat dicapai untuk setiap sumber pendapatan. Sedangkan belanja yang dianggarkan pada setiap pos atau pasal merupakan batas tertinggi pengeluaran belanja. 

Penganggaran pengeluaran harus didukung dengan adanya kepastian tersedianya penerimaan dalam jumlah yang cukup dan tidak dibenarkan melaksanakan kegiatan atau proyek yang belum atau tidak tersedia anggarannya. Dengan kata lain, bahwa penggunaan setiap pos anggaran harus sesuai dengan kegiatan atau proyek yang diusulkan 

c. Keadilan Anggaran 
Pemerintah wajib mengalokasikan penggunaan anggarannya secara adil agar dapat dinikmati oleh seluruh kelompok masyarakat tanpa diskriminasi dalam pemberian pelayanan, karena pendapatan pemerintah pada hakikatnya diperoleh melalui peran serta masyarakat secara keseluruhan. 

d. Efisiensi dan efektivitas Anggaran 
Penyusunan anggaran hendaknya dilakukan berlandaskan azas efisiensi, tepat guna, tepat waktu pelaksanaan, dan penggunaannya dapat dipertanggungjawabkan. Dana yang tersedia harus dimanfaatkan dengan sebaik mungkin untuk dapat menghasilkan peningkatan dan kesejahteraan yang maksimal untuk kepentingan masyarakat. 


e. Disusun dengan pendekatan kinerja 
Anggaran yang disusun dengan pendekatan kinerja mengutamakan upaya pencapaian hasil kerja (output atau outcome) dari perencanaan alokasi biaya atau input yang telah ditetapkan. Hasil kerjanya harus sepadan atau lebih besar dari biaya atau input yang telah ditetapkan. Selain itu harus mampu menumbuhkan profesionalisme kerja di setiap organisasi kerja yang terkait. 

Selain prinsip-prinsip secara umum seperti yang telah diuraikan di atas, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 mengamanatkan perubahan-perubahan kunci tentang penganggaran sebagai berikut: 
a. Penerapan pendekatan penganggaran dengan perspektif jangka menengah 
Pendekatan dengan perspektif jangka menengah memberikan kerangka yang menyeluruh, meningkatkan keterkaitan antara proses perencanaan dan penganggaran, mengembangkan disiplin fiskal, mengarahkan alokasi sumber daya agar lebih rasional dan strategis, dan meningkatkan kepercayaan masyarakat kepada pemerintah dengan pemberian pelayanan yang optimal dan lebih efisien. 

Dengan melakukan proyeksi jangka menengah, dapat dikurangi ketidakpastian di masa yang akan datang dalam penyediaan dana untuk membiayai pelaksanaan berbagai inisiatif kebijakan baru, dalam penganggaran tahunan. Pada saat yang sama, harus pula dihitung implikasi kebijakan baru tersebut dalam konteks keberlanjutan fiskal dalam jangka menengah. 

Cara ini juga memberikan peluang untuk melakukan analisis apakah pemerintah perlu melakukan perubahan terhadap kebijakan yang ada, termasuk menghentikan program-program yang tidak efektif, agar kebijakan-kebijakan baru dapat diakomodasikan. 

b. Penerapan penganggaran secara terpadu 
Dengan pendekatan ini, semua kegiatan instansi pemerintah disusun secara terpadu, termasuk mengintegrasikan anggaran belanja rutin dan anggaran belanja pembangunan. 

Hal tersebut merupakan tahapan yang diperlukan sebagai bagian upaya jangka panjang untuk membawa penganggaran menjadi lebih transparan, dan memudahkan penyusunan dan pelaksanaan anggaran yang berorientasi kinerja.

Dalam kaitan dengan menghitung biaya input dan menaksir kinerja program, sangat penting untuk mempertimbangkan biaya secara keseluruhan, baik yang bersifat investasi maupun biaya yang bersifat operasional.

BERDASARKAN UUJK

Undang-undang Jasa Konstruksi (UUJK) No. 18 tahun 1999

UUJK No. 18/1999 merupakan landasan hukum pengaturan jasa konstruksi yang terencana, terarah, dan menyeluruh dalam rangka mengembangkan jasa konstruksi. Dengan Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi ini, maka semua penyelenggaraan jasa konstruksi yang dilakukan di Indonesia oleh pengguna jasa dan penyedia jasa, baik nasional maupun asing, wajib mematuhi seluruh ketentuan yang tercantum dalam Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi (Butir 9 Penjelasan Bab I Umum UUJK No. 18/1999).
Sesuai dengan hirarki peraturan perundang-undangan mengenai kedudukan Undang-undang, ketentuan dalam UUJK No. 18/1999 bersifat umum dan perlu diturunkan dalam bentuk peraturan pelaksanaan untuk penerapannya dengan tidak bertentangan dengan Undang-undang ini.
Untuk lebih memahami mengenai UUJK No. 18/1999, berikut kajian latar belakang dan struktur isi UUJK No. 18/1999. Sehubungan dengan lingkup penelitian ini, pembahasannya dilakukan dari sudut pandang pengaturan Pengadaan Jasa Pemborongan Konstruksi.

Latar Belakang UUJK No. 18 tahun 1999
Pengaturan jasa konstruksi dalam UUJK No. 18/1999 dilatarbelakangi oleh adanya kebutuhan dan cita-cita luhur jasa konstruksi dimana dengan adanya UUJK No. 18/1999, jasa konstruksi diharapkan dapat :

         1. Berperan dalam pembangunan nasional
Disarikan dari ayat 1 Penjelasan Bab I Umum UUJK No. 18/1999: ”
         2. Terwujud kesetaraan kedudukan antara pengguna jasa dan penyedia jasa (disarikan dari ayat 2 Penjelasan Bab I Umum UUJK No. 18/1999),
         3. Terbentuk usaha yang profesional dan kokoh (disarikan dari ayat 2 Penjelasan Bab I Umum UUJK No. 18/1999), dan
       4. Menghasilkan hasil pekerjaan konstruksi yang berkualitas dan berfungsi sesuai rencana (disarikan dari ayat 2 Penjelasan Bab I Umum UUJK No. 18/1999).
Peran jasa konstruksi dalam pembangunan nasional yaitu melalui kegiatan pembangunan. Yang mana hasil akhir dari pembangunan adalah bangunan fisik berupa sarana dan prasarana. Peran jasa konstruksi secara langsung dalam pembangunan nasional yaitu:
1.     1. Mengurangi pengangguran dengan membuka lapangan kerja bagi tenaga kerja konstruksi yaitu tenaga ahli dan tenaga terampil.
            2. Membuka peluang usaha bagi perusahaan yang bergerak di bidang industri barang dan jasa yang berkaitan dengan pekerjaan konstruksi.
               3. Meningkatkan pendapatan negara melalui sektor konstruksi.

Peran jasa konstruksi secara tidak langsung adalah mendukung pertumbuhan dan perkembangan bidang ekonomi, sosial dan budaya melalui hasil pembangunan atau pelaksanaan pekerjaan konstruksi. Pentingnya peran jasa konstruksi dalam pertumbuhan ekonomi negara sehingga dibutuhkan pengaturan dalam bentuk Undang-Undang Jasa Konstruksi untuk mengatur dan memberdayakan jasa konstruksi nasional.
Hal inilah yang menyebabkan pemerintah berinisiatif menyusun konsep awal Undang-Undang Jasa Konstruksi pada tahun 1988 dan selanjutnya bersama asosiasi jasa konstruksi meneruskan konsep awal Rancangan Undang-Undang Jasa Konstruksi (UUJK) hingga ditetapkannya UUJK pada tanggal 22 Maret 1999.

c. Penerapan penganggaran berdasarkan kinerja
Pendekatan ini memperjelas tujuan dan indikator kinerja sebagai bagian dari pengembangan sistem penganggaran berdasarkan kinerja. Hal ini akan mendukung perbaikan efisiensi dan efektivitas dalam pemanfaatan sumber daya dan memperkuat proses pengambilan keputusan tentang kebijakan dalam kerangka jangka menengah. Rencana Kerja dan Anggaran (RKA) yang disusun berdasarkan prestasi kerja dimaksudkan untuk memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya dengan menggunakan sumber daya yang terbatas.

Oleh karena itu, program dan kegiatan Kementerian Negara atau Lembaga atau SKPD harus diarahkan untuk mencapai hasil dan keluaran yang telah ditetapkan sesuai dengan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) atau rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD).

Prinsip pengadaan barang/jasa
Pada pasal 6 disebutkan Pengadaan Barang/Jasa menerapkan prinsip sebagai berikut :
1.  Efisien,
2.  Efektif,
3.  Transparan,
4.  Terbuka,
5.  Bersaing,
6.  Adil, dan
7.  Akuntabel.


Etika pengadaan barang/jasa
Pada pasal 7 ayat 1 disebutkan semua pihak yang terlibat dalam Pengadaan Barang/Jasa mematuhi etika sebagai berikut :
1.  melaksanakan tugas secara tertib, disertai rasa tanggung jawab untuk mencapai sasaran, kelancaran, dan ketepatan tujuan Pengadaan Barang/Jasa;
2.  bekerja secara profesional, mandiri, dan menjaga kerahasiaan informasi yang menurut sifatnya harus dirahasiakan untuk mencegah penyimpangan Pengadaan Barang/Jasa;
3.  tidak saling mempengaruhi baik langsung maupun tidak langsung yang berakibat persaingan usaha tidak sehat;
4.  menerima dan bertanggung jawab atas segala keputusan yang ditetapkan sesuai dengan kesepakatan tertulis pihak yang terkait;
5.  menghindari dan mencegah terjadinya pertentangan kepentingan pihak yang terkait, baik secara langsung maupun tidak langsung, yang berakibat persaingan usaha tidak sehat dalam Pengadaan Barang/Jasa;
6.  menghindari dan mencegah pemborosan dan kebocoran keuangan negara;
7.  menghindari dan mencegah penyalahgunaan wewenang dan/atau kolusi; dan
8.  tidak menerima, tidak menawarkan, atau tidak menjanjikan untuk memberi atau menerima hadiah, imbalan, komisi, rabat, dan apa saja dari atau kepada siapapun yang diketahui atau patut diduga berkaitan dengan Pengadaan Barang/Jasa.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar