PENYUSUNAN ANGGARAN PERUSAHAAN DALAM BIDANG
PEMBANGUNAN
Prinsip-Prinsip Penganggaran
Adapun yang dimaksud dengan prinsip-prinsip anggaran adalah: (Dedi Nordiawan,
Iswahyudi Sondi Putra dan Maufidah Rahmawati tahun 2007).
a. Transparansi dan akuntabilitas anggaran
Anggaran harus dapat menyajikan informasi yang jelas mengenai tujuan,
sasaran, hasil, dan manfaat yang diperoleh masyarakat dari suatu kegiatan atau
proyek yang dianggarkan.
Anggota masyarakat memiliki hak dan akses yang sama untuk mengetahui
proses anggaran karena menyangkut aspirasi dan kepentingan masyarakat, terutama
pemenuhan kebutuhan-kebutuhan hidup masyarakat. Masyarakat juga berhak untuk
menuntut pertanggungjawaban atas rencana ataupun pelaksanaan anggaran
tersebut.
b. Disiplin Anggaran
Pendapatan yang direncanakan merupakan perkiraan yang terukur secara
rasional yang dapat dicapai untuk setiap sumber pendapatan. Sedangkan belanja yang
dianggarkan pada setiap pos atau pasal merupakan batas tertinggi pengeluaran
belanja.
Penganggaran pengeluaran harus didukung dengan adanya kepastian
tersedianya penerimaan dalam jumlah yang cukup dan tidak dibenarkan
melaksanakan kegiatan atau proyek yang belum atau tidak tersedia anggarannya.
Dengan kata lain, bahwa penggunaan setiap pos anggaran harus sesuai dengan
kegiatan atau proyek yang diusulkan
c. Keadilan Anggaran
Pemerintah wajib mengalokasikan penggunaan anggarannya secara adil agar
dapat dinikmati oleh seluruh kelompok masyarakat tanpa diskriminasi dalam
pemberian pelayanan, karena pendapatan pemerintah pada hakikatnya diperoleh
melalui peran serta masyarakat secara keseluruhan.
d. Efisiensi dan efektivitas Anggaran
Penyusunan anggaran hendaknya dilakukan berlandaskan azas efisiensi,
tepat guna, tepat waktu pelaksanaan, dan penggunaannya dapat
dipertanggungjawabkan. Dana yang tersedia harus dimanfaatkan dengan sebaik
mungkin untuk dapat menghasilkan peningkatan dan kesejahteraan yang maksimal
untuk kepentingan masyarakat.
e. Disusun dengan pendekatan kinerja
Anggaran yang disusun dengan pendekatan kinerja mengutamakan upaya
pencapaian hasil kerja (output atau outcome) dari perencanaan alokasi biaya
atau input yang telah ditetapkan. Hasil kerjanya harus sepadan atau lebih besar
dari biaya atau input yang telah ditetapkan. Selain itu harus mampu menumbuhkan
profesionalisme kerja di setiap organisasi kerja yang terkait.
Selain prinsip-prinsip secara umum seperti yang telah diuraikan di atas,
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 mengamanatkan perubahan-perubahan kunci
tentang penganggaran sebagai berikut:
a. Penerapan pendekatan penganggaran dengan perspektif jangka
menengah
Pendekatan dengan perspektif jangka menengah memberikan kerangka yang
menyeluruh, meningkatkan keterkaitan antara proses perencanaan dan
penganggaran, mengembangkan disiplin fiskal, mengarahkan alokasi sumber daya
agar lebih rasional dan strategis, dan meningkatkan kepercayaan masyarakat
kepada pemerintah dengan pemberian pelayanan yang optimal dan lebih
efisien.
Dengan melakukan proyeksi jangka menengah, dapat dikurangi
ketidakpastian di masa yang akan datang dalam penyediaan dana untuk membiayai
pelaksanaan berbagai inisiatif kebijakan baru, dalam penganggaran tahunan. Pada
saat yang sama, harus pula dihitung implikasi kebijakan baru tersebut dalam
konteks keberlanjutan fiskal dalam jangka menengah.
Cara ini juga memberikan peluang untuk melakukan analisis apakah
pemerintah perlu melakukan perubahan terhadap kebijakan yang ada, termasuk
menghentikan program-program yang tidak efektif, agar kebijakan-kebijakan baru
dapat diakomodasikan.
b. Penerapan penganggaran secara terpadu
Dengan pendekatan ini, semua kegiatan instansi pemerintah disusun secara
terpadu, termasuk mengintegrasikan anggaran belanja rutin dan anggaran belanja
pembangunan.
Hal tersebut merupakan tahapan yang diperlukan sebagai bagian upaya
jangka panjang untuk membawa penganggaran menjadi lebih transparan, dan
memudahkan penyusunan dan pelaksanaan anggaran yang berorientasi kinerja.
Dalam kaitan dengan menghitung biaya input dan menaksir kinerja program,
sangat penting untuk mempertimbangkan biaya secara keseluruhan, baik yang
bersifat investasi maupun biaya yang bersifat operasional.
BERDASARKAN UUJK
Undang-undang
Jasa Konstruksi (UUJK) No. 18 tahun 1999
UUJK No. 18/1999 merupakan landasan hukum
pengaturan jasa konstruksi yang terencana, terarah, dan menyeluruh dalam rangka
mengembangkan jasa konstruksi. Dengan Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi
ini, maka semua penyelenggaraan jasa konstruksi yang dilakukan di Indonesia
oleh pengguna jasa dan penyedia jasa, baik nasional maupun asing, wajib
mematuhi seluruh ketentuan yang tercantum dalam Undang-Undang tentang Jasa
Konstruksi (Butir 9 Penjelasan Bab I Umum UUJK No. 18/1999).
Sesuai dengan hirarki peraturan perundang-undangan
mengenai kedudukan Undang-undang, ketentuan dalam UUJK No. 18/1999 bersifat
umum dan perlu diturunkan dalam bentuk peraturan pelaksanaan untuk penerapannya
dengan tidak bertentangan dengan Undang-undang ini.
Untuk lebih memahami mengenai UUJK No. 18/1999,
berikut kajian latar belakang dan struktur isi UUJK No. 18/1999. Sehubungan
dengan lingkup penelitian ini, pembahasannya dilakukan dari sudut pandang
pengaturan Pengadaan Jasa Pemborongan Konstruksi.
Latar
Belakang UUJK No. 18 tahun 1999
Pengaturan jasa konstruksi dalam UUJK No. 18/1999
dilatarbelakangi oleh adanya kebutuhan dan cita-cita luhur jasa konstruksi
dimana dengan adanya UUJK No. 18/1999, jasa konstruksi diharapkan dapat :
1. Berperan
dalam pembangunan nasional
Disarikan dari ayat
1 Penjelasan Bab I Umum UUJK No. 18/1999: ”
2. Terwujud
kesetaraan kedudukan antara pengguna jasa dan penyedia jasa (disarikan dari
ayat 2 Penjelasan Bab I Umum UUJK No. 18/1999),
3. Terbentuk
usaha yang profesional dan kokoh (disarikan dari ayat 2 Penjelasan Bab I Umum
UUJK No. 18/1999), dan
4. Menghasilkan
hasil pekerjaan konstruksi yang berkualitas dan berfungsi sesuai rencana
(disarikan dari ayat 2 Penjelasan Bab I Umum UUJK No. 18/1999).
Peran jasa konstruksi dalam pembangunan nasional
yaitu melalui kegiatan pembangunan. Yang mana hasil akhir dari pembangunan
adalah bangunan fisik berupa sarana dan prasarana. Peran jasa konstruksi secara
langsung dalam pembangunan nasional yaitu:
1. 1. Mengurangi
pengangguran dengan membuka lapangan kerja bagi tenaga kerja konstruksi yaitu
tenaga ahli dan tenaga terampil.
2. Membuka
peluang usaha bagi perusahaan yang bergerak di bidang industri barang dan jasa
yang berkaitan dengan pekerjaan konstruksi.
3. Meningkatkan
pendapatan negara melalui sektor konstruksi.
Peran jasa konstruksi secara tidak langsung adalah
mendukung pertumbuhan dan perkembangan bidang ekonomi, sosial dan budaya
melalui hasil pembangunan atau pelaksanaan pekerjaan konstruksi. Pentingnya
peran jasa konstruksi dalam pertumbuhan ekonomi negara sehingga dibutuhkan
pengaturan dalam bentuk Undang-Undang Jasa Konstruksi untuk mengatur dan
memberdayakan jasa konstruksi nasional.
Hal inilah yang menyebabkan pemerintah berinisiatif
menyusun konsep awal Undang-Undang Jasa Konstruksi pada tahun 1988 dan
selanjutnya bersama asosiasi jasa konstruksi meneruskan konsep awal Rancangan
Undang-Undang Jasa Konstruksi (UUJK) hingga ditetapkannya UUJK pada tanggal 22
Maret 1999.
c. Penerapan penganggaran berdasarkan kinerja
Pendekatan ini memperjelas tujuan dan indikator kinerja sebagai bagian
dari pengembangan sistem penganggaran berdasarkan kinerja. Hal ini akan
mendukung perbaikan efisiensi dan efektivitas dalam pemanfaatan sumber daya dan
memperkuat proses pengambilan keputusan tentang kebijakan dalam kerangka jangka
menengah. Rencana Kerja dan Anggaran (RKA) yang disusun berdasarkan prestasi
kerja dimaksudkan untuk memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya dengan
menggunakan sumber daya yang terbatas.
Oleh karena itu, program dan kegiatan Kementerian Negara atau Lembaga
atau SKPD harus diarahkan untuk mencapai hasil dan keluaran yang telah
ditetapkan sesuai dengan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) atau rencana Kerja
Pemerintah Daerah (RKPD).
Prinsip pengadaan barang/jasa
Pada pasal 6 disebutkan Pengadaan
Barang/Jasa menerapkan prinsip sebagai berikut :
1. Efisien,
2. Efektif,
3. Transparan,
4. Terbuka,
5. Bersaing,
6. Adil, dan
7. Akuntabel.
Etika pengadaan barang/jasa
Pada pasal 7 ayat 1 disebutkan semua
pihak yang terlibat dalam Pengadaan Barang/Jasa mematuhi etika sebagai berikut
:
1. melaksanakan tugas secara tertib,
disertai rasa tanggung jawab untuk mencapai sasaran, kelancaran, dan ketepatan
tujuan Pengadaan Barang/Jasa;
2. bekerja secara profesional, mandiri,
dan menjaga kerahasiaan informasi yang menurut sifatnya harus dirahasiakan
untuk mencegah penyimpangan Pengadaan Barang/Jasa;
3. tidak saling mempengaruhi baik
langsung maupun tidak langsung yang berakibat persaingan usaha tidak sehat;
4. menerima dan bertanggung jawab atas
segala keputusan yang ditetapkan sesuai dengan kesepakatan tertulis pihak yang
terkait;
5. menghindari dan mencegah terjadinya
pertentangan kepentingan pihak yang terkait, baik secara langsung maupun tidak
langsung, yang berakibat persaingan usaha tidak sehat dalam Pengadaan Barang/Jasa;
6. menghindari dan mencegah pemborosan
dan kebocoran keuangan negara;
7. menghindari dan mencegah
penyalahgunaan wewenang dan/atau kolusi; dan
8. tidak menerima, tidak menawarkan,
atau tidak menjanjikan untuk memberi atau menerima hadiah, imbalan, komisi, rabat,
dan apa saja dari atau kepada siapapun yang diketahui atau patut diduga
berkaitan dengan Pengadaan Barang/Jasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar